Parigi Moutong, Fokussulawesi.com – Pembangunan Gedung Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas) yang dibiayai Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan total keseluruhan kurang lebih Rp13 miliar, kembali menjadi sorotan. Di balik aktivitas pengerjaan yang terlihat berjalan seperti biasa, tersimpan sederet persoalan yang berpotensi menyeret proyek ini pada keputusan paling ekstrem, yaitu pemutusan kontrak.
Hasil penelusuran lapangan dan keterangan resmi dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mengungkap adanya ketimpangan antara ketersediaan material dan progres fisik bangunan. Sejauh ini, bobot konstruksi baru mencapai 63 persen, sementara 27 persen komponen lain belum terpasang meski materialnya disebut sudah lengkap di lokasi.
Bukan hanya soal keterlambatan. Fakta lain menunjukkan bahwa pelaksana proyek telah menerima Surat Peringatan (SP) 1, tanda bahwa progres dianggap di bawah standar. Menurut aturan main, PPK dapat menerbitkan peringatan hingga SP 3. Jika setelah itu tidak ada perubahan signifikan, langkah yang harus ditempuh jelas, bisa kontrak diputus dan kontraktor dapat dimasukkan dalam daftar hitam.
“Kalau penyedia merasa tidak sanggup, kita bagaimana juga memaksakan. Selama penyedia sanggup menyelesaikan, namun dengan konsekuensi denda yang harus dibayarkan,” ungkap Chandra PPK kepada sejumlah awak media ketika ditemui, Kamis (4/12/2025).
Pernyataan tersebut memperkuat dugaan bahwa kekhawatiran terkait kemampuan penyedia bukan sekadar isu teknis, melainkan persoalan manajemen dan efektivitas kerja.
Data yang diperoleh menyebutkan bahwa sebagian besar material sudah dikumpulkan di lokasi proyek. Namun, keberadaan material tak otomatis menjadi progres fisik. Pembobotan tetap dilakukan berdasarkan apa yang telah terpasang.
Sumber menyebut masalah klasik kembali muncul di proyek ini, kekurangan tenaga kerja. PPK sendiri tidak menampik bahwa tambahan pekerja dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan. Namun pertanyaannya, jika material sudah siap dan waktu semakin menipis, mengapa percepatan tenaga kerja tidak dilakukan sejak awal?.
Sekedar diketahui, proyek ini menggunakan alokasi dana DAK, yang biasanya memiliki aturan ketat dan tenggat pencairan yang tidak bisa dinegosiasikan. Keterlambatan atau kegagalan penyelesaian proyek bisa berdampak lebih luas. Bukan hanya pada bangunan yang mangkrak, tetapi juga peluang hilangnya alokasi dana serupa di tahun berikutnya.
“Kalau tidak diselesaikan akan menambah masalah. Karena belum tentu lagi kita bisa mendapatkan anggaran,” tegas PPK.
Sampai dengan saat ini, proses pengerjaan meliputi plesteran dinding, pemasangan lantai, dan plafon. Pelaksana CV Kaluku Bula Sulteng, Hidayat juga mengaku optimistis bangunan dapat rampung pada 23 Desember 2025, meski progres terlihat belum mendukung keyakinan tersebut.
Pelaksana beralasan pembagian kerja berdasarkan spesialisasi akan mempercepat penyelesaian. Namun, tanpa percepatan signifikan, target tersebut diperkirakan akan sangat sulit dikejar.

Keterlambatan progres, peringatan resmi yang telah dikeluarkan, ancaman blacklist, risiko kehilangan dana DAK, hingga potensi mangkraknya infrastruktur vital. Semuanya membentuk rangkaian persoalan yang menuntut perhatian serius.
Apakah proyek Labkesmas benar-benar dapat diselesaikan tepat waktu, atau akan menjadi tambahan angka dalam daftar panjang proyek bermasalah di daerah?.***















